Mau Diapakan Borobudur?
(Refleksi Hari Konvensi Warisan Dunia, 16 November)
Oleh : Hendrizal
Dosen/Sekjur PGSD FKIP Universitas Bung Hatta
Padang Ekspres • Kamis, 17/11/2011 11:47 WIB • 496 klik
Belakangan ini
banyak orang ribut mempersoalkan tentang 10 besar obyek wisata yang
menjadi keajaiban dunia, termasuk lolosnya komodo ke-10 besar.
Negara-negara berharap obyek wisatanya menjadi masuk ke-10 besar. Kita
pun ramai membicarakan itu. Tapi ada satu hal yang lupa pada kita, yakni
tentang nasib Candi Borobudur. Maka, dalam momen memperingati Hari
Konvensi Warisan Dunia, 16 November 2011, kali ini, ada baiknya kita
merenungkan masalah besar yang menimpa bangsa dan negara Indonesia
terkait dengan warisan budayanya, belum lama ini. Masalahnya, Candi
Borobudur kebanggaan Indonesia tidak dianggap lagi sebagai salah satu
dari Tujuh Keajaiban Dunia.
Fenomena itu tepatnya muncul setelah Tujuh Keajaiban Dunia yang Baru (The New Seven Wonders), yang sponsori oleh kurator museum Bernard Weber, diumumkan, bulan Juli 2007. Pemilihan Tujuh Keajaiban Dunia yang Baru itu sebagai alternatif dari Tujuh Keajaiban Dunia (The Seven Wonders of World), dilakukan oleh The New Open World Corporation (NOWC).
Tujuh Keajaiban Dunia yang Baru itu adalah Tembok Besar (China), Machu Picchu (Peru), Taj Mahal (India), Patung Kristus Sang Penebus (Brasil), Chichen Itza (Meksiko), Petra (Jordania), dan Koloseum (Italia). Ada 177 monumen yang masuk daftar, kemudian dipilih lagi menjadi 21, dan akhirnya menjadi tujuh. Pemilihan itu mengundang berbagai reaksi. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) yang berkompeten mengurusi warisan budaya dunia menyatakan tidak tahu-menahu urusan pemilihan itu. UNESCO menyatakan, hasil pemilihan itu ”usaha swasta dan hanyalah pendapat orang-orang yang memiliki akses ke internet serta tidak seluruh dunia”.
Reaksi muncul pula dari Mesir, yang memiliki Piramid Giza. Piramid ini masuk dalam kategori Tujuh Keajaiban Dunia Kuno. Sebuah koran terbitan Mesir dalam editorialnya menulis, ”Pemilihan itu merupakan konspirasi melawan Mesir, peradaban dan monumennya”. Menteri Kebudayaan Mesir Farouq Hosni berpendapat, proyek itu absurd dan menggambarkan Weber sebagai orang yang ”terutama peduli pada promosi dirinya sendiri”.
Terlepas dari silang pendapat tentang Tujuh Keajaiban Dunia yang Baru itu, rasanya kita perlu prihatin, Candi Borobudur tidak disebut-sebut sama sekali. Hingga saat ini Borobudur masih tetap bertahan di kategori Keajaiban yang Terlupakan (Forgotten Wonders) bersama 12 warisan budaya lainnya. Namun, tiga di antaranya (Koloseum, Tembok Besar, dan Machu Picchu) kini masuk dalam kategori Tujuh Keajaiban Dunia yang Baru.
Dengan demikian, bagaimanapun, ketetapan The New Seven Wonders merupakan tamparan keras bagi bangsa Indonesia. Apalagi di tengah tekanan politik, ekonomi, budaya dan keamanan yang diberikan oleh dunia internasional, kiranya hal itu dapat berdampak kepada frustrasi nilai-nilai kebangsaan. Semestinya, kejadian ini menyadarkan Indonesia dalam menggapai kesadaran positif baru untuk senantiasa mempelajari, menjaga dan melestarikan warisan-warisan budaya. Sebab, kalau mau jujur, kesadaran masyarakat kita untuk mengabadikan warisan budaya masih amat minim, bahkan terkesan mengabaikannya. Padahal, Candi Borobudur merupakan warisan budaya kita yang sangat bagus. UNESCO juga sudah memasukkan Candi Borobudur sebagai salah satu dari 851 bangunan kuno di dunia, sehingga turut membantu perawatan dan perbaikannya.
Candi Borobudur merupakan salah satu warisan budaya bangsa kita yang dibangun oleh raja-raja Dinasti Syailendra pada 13 abad silam sebagai bentuk penghormatan kepada Sidharta Gautama yang telah menyebarkan ajaran Buddha. Sebagai candi Budha, relief-relief di dinding Borobudur menggambarkan perjalanan hidup Sidharta dalam menggapai pencerahan, beserta ajarannya. Demikian pula pahatan arca yang tertata di setiap undakan menandakan betapa agungnya Sang Budha. Borobudur memang kaya makna religius. Tapi di balik itu, nilai-nilai estetik dan sejarah yang terkandung pada setiap sendi arsitekturnya tidak kalah menarik. Sehingga tidak salah kalau Borobudur juga dikatakan sebagai simbol peradaban, yang kemudian masyarakat dunia menganugerahkannya menjadi salah satu dari keajaiban dunia.
Namun, apa boleh buat, sejak sekarang kita mesti berhati-hati, jangan lagi menyebutkan bahwa Candi Borobudur kebanggaan bangsa Indonesia adalah salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia. Apalagi mengingat, tidak ada referensi yang bisa digunakan untuk mendukung pendapat tersebut. Tapi, kita tidak perlu berkecil hati. Toh, UNESCO tetap tidak mau disangkutpautkan dengan acara pemilihan Tujuh Keajaiban Dunia yang Baru tersebut, karena UNESCO tetap memelihara lebih dari 800 peninggalan, termasuk Candi Borobudur. UNESCO tidak mengistimewakan salah satu (atau tujuh) warisan dunia. Semuanya dianggap sama.
Bagaimana dengan Candi Borobudur? Ah, kita tidak perlu berkecil hati. Masuk atau tidak masuk sebagai Tujuh Keajaiban Dunia, Candi Borobudur tetap menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia. Yang perlu kita camkan ke depan, bagaimanapun, Borobudur adalah salah satu warisan budaya paling istimewa yang ditinggalkan nenek moyang kita, yang seharusnya memperoleh perhatian penuh dari bangsa kita. Sebagai wujud pengabdian pada Borobudur, setidaknya ada 2 hal yang bisa dilakukan: (a) Menjaga Borobudur dari pengaruh buruk alam dan tangan-tangan tidak bertanggung jawab yang bisa merusak keutuhan bangunan. Proses penjagaan ini perlu dilakukan secara berkelanjutan dengan tenaga profesional yang memahami bagaimana cara merawat keutuhan bangunan. Kalau kita menyaksikan Borobudur sekarang ini, sebetulnya sudah banyak arca yang tidak sempurna bentuknya, relief yang terkikis, dan fondasi bangunan yang kian rapuh.
(b) Memaksimalkan peran Borobudur sebagai obyek wisata dunia. Sebagai bagian dari peninggalan peradaban dunia yang fenomenal, Borobudur tidak cuma dinikmati turis domestik. Menurut survei Asosiasi Perjalanan Pariwisata Asia (PATA), jumlah wisatawan yang mengunjungi Candi Borobudur mengalami penurunan. Pada tahun 2005 wisatawan mencapai 1.992.726 orang, tahun 2006 turun mencapai 1.243.058 orang, dan pada akhir Mei 2007 masih 238.816 orang.
Mengingat hal itu, usaha-usaha yang penting dilakukan pemerintah antara lain harus memaksimalkan perannya untuk mempublikasikan daya tarik Borobudur hingga mancanegara. Di samping itu, pemerintah juga mesti berupaya meyakinkan masyarakat internasional bahwa Indonesia merupakan wilayah yang aman dan nyaman dijadikan tempat berwisata. Kalau bangsa Indonesia telah bekerja keras untuk mengabadikan Borobudur, sejatinya klaim mengenai keajaiban dunia bukanlah hal yang vital lagi. Sebab, memang bukan klaim tersebut yang kita kehendaki, melainkan bagaimana supaya salah satu warisan budaya itu bisa tetap berada di tengah-tengah kita di masa sekarang dan masa depan. (*)
0 komentar:
Posting Komentar